Berubah: Berlayar atau Berlabuh?


TRANSFORMASI atau perubahan adalah sebuah perjalanan. Dan seperti layaknya sebuah pelayaran, maka setiap perusahaan, yayasan atau badan milik pemerintah selalu akan menghadapi medan yang berbeda-beda.  Apalagi sebuah bangsa, tak terkecuali bangsa adidaya sekalipun, akan berselancar melewati sigmoid curve yang berbentuk S (tertidur) yang arahnya naik dan turun.  Tak ada tujuan akhir, yang ada hanyalah tujuan-tujuan antara. Baca lebih lanjut

Guru dan Perubahan


Tak dapat disangkal, guru merupakan sosok penting yang mengawal perubahan di awal abad XXI.

Guru berpikir jauh ke depan, bukan terbelenggu ilmu masa lalu, sebab tak banyak orang yang melihat anak-anak telah hidup di sebuah peradaban yang berbeda dengannya. Sementara kurikulum baru yang belum tentu sempurna sudah dihujat, kaum muda mengatakan kurikulum lama sudah tidak relevan mengisi masa depan mereka.

Untuk pertama kali dalam sejarah, dunia kerja dan sekolah di- isi empat generasi sekaligus, generasi kertas-pensil, generasi komputer, generasi internet, dan generasi telepon pintar. Terjadi celah antargenerasi, ”tulis dan temui saya” (generasi kertas), ”telepon saja” (generasi komputer), ”kirim via surel” (generasi internet), tetapi generasi terbaru mengatakan, ”Cukup SMS saja”. Yang tua rapat dengan perjalanan dinas, yang muda pakai skype. Baca lebih lanjut

Badut dalam Opera Perubahan


Di atas panggung di sebuah gedung opera cerita rakyat di Beijing, seorang pria tampak sibuk bersolek. Rekan saya dari Universitas Renmin berbisik, “Dia itu badutnya, bukan guru yang menjadi inti cerita”. Namanya Habei. Wajahnya murung. Tetapi begitu kamera mengarah kepadanya, ia terlihat riang dan mulai melucu.  Rekan saya yang lain, profesor dari Universitas Dublin yang keturunan Irlandia berujar serius: Impresif! Tetapianehnya ia sama sekali tidak tertawa.

Padahal batin Habei penuh luka, bisik rekan saya lagi. Menurut plot cerita, Habei datang ke kotadengan impian menjadi orang terpandang. Di sana, Ia diterima disebuah sekolah guru. Meski bukan angan-angannya, Habei tak pula membantingsetir. Tak  cukup nyalinya untuk bertarung mengejar ilmu yang lebih menantang. Karena terikat kontrak, begitu lulus,  Habei kena wajib mengajar. Namun ia tak senang dengan upah rendah sebagai abdi negara. Baca lebih lanjut