Lembar Kerja Siswa (LKS) dan kemampuan guru menulis


Sudah berapa lama LKS menjadi sebuah “jantung” bagi pendidikan kita. Menjadinya  sebuah senjata pamungkas bagi guru untuk mengajar. Ibaratnya kalo sudah pegang LKS maka sudah cukup untuk memasuki ruang-ruang kelas pembelajaran yang membawa siswa ke gerbang-gerbang inprirasi keilmuan. Tapi sayang LKS itu bukan LKS bikinan guru-guru, hanya sebuah buku yang dibeli dari penerbit karena ketidak mampuan guru menulis. Dan kelemahan itu yang mejadikan bisnis pendidikan “LKS” kita tumbuh subur dinegeri kita.

Isu penghapusan LKS dalam kurikulum 2013 secara pribadi membuat saya senang.  Semoga akan ada LKS LKS lokal bikinan guru yang lebih membumi bagi siswa siswanya. LKS bisa jadi menjadi sebuah sarana antara bagi guru untuk belajar menulis. Kedepan tentunya guru juga musti fasih dalam menulis Buku, menulis karya ilmiah dan sebagainya. Rumornya guru juga akan dipaksa untuk itu, setidaknya jika mau dapat sertifikasi dan kenaikan golongan.

Saya pernah menjadi Guru saat sedang kuliah pascasarjana dan saya juga pernah menulis LKS silahkan download LKS TIK KELAS VIII Semester 1 dan LKS TIK KELAS 8 SEMESTER 2  Menulis LKS saya kira menjadi sarana paling awal untuk guru belajar menulis, kalo nulis LKS saja tidak mampu bagaimana dengan menulis dengan standar yang lebih tinggi. Semoga guru guru kita lekas mau menulis karena tantangan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa ini semakin berat. Guru Sebagai salah satu pemikul amat UUD sebagai pencerdas kehidupan bangsa, tentunya juga musti cerdas termasuk dalam hal menulis. 🙂

 

Curhat Seorang Guru ala Dodit Mulyanto dalam Stand Up Comedy Indonesia (SUCI4)


Guru Pun bisa curhat, bentuk curhatnya pun macam-macam. Ada yang kebetulan masih honorer minta diangkat jadi PNS. Yang udah sertifikasi dan bergaji tinggipun juga bisa “curhat”. Curhat mulai dari keluarganya, curhat ini itu pokonya macem-macem deh 😀

Menurutku esensi dari lebih dari itu,  meskipun tidak dapat dipungkiri tugas guru memang sangat besar. bahkan ditangan merekalah masa depan bangsa ini diletakkan karena akan mendidik presiden, mentri dan gubernur. Tapi yang bisa jadi yang didik juga bisa juga koruptor, mafia dll. Meskipun begitu tidak bisa diklam juga bahwa kebehasilan semata-mata karena gurunya meskipun juga tidak bisa diabaikan fungsi guru yang besar.

Contoh yang paling hangat saat ini adalah kasus JIS (Jakarta International School) bagaimana seorang anak bisa jadi korban. Dalam Sebuah acara TV yang MC nya bang Karni itu ibunya menirukan anaknya begini “ stop, don’t do that, go away for me” dengan berteriak. Seorang anak bilang begitu? apakah itu selaras dengan pendidikan yang harusnya diterima anak-anak kita yang harusnya lebih pada norma. Tapi yang Sudahlah.. mungkin kelas meengah keatas lebih mengejar kemampuan bahasa ingris pada anak-anaknya ketimbang nilai-nilai norma.

Memikirkan masalah guru, tanggung jawabnya dan berbagai hal lain memang sangat membuat dahi berkerut . Dari pada dahi berkerut kita bisa melihat curhatan Guru Dodit Mulyanto yang pasti akan bikin ketawa ini 😀

 

Bagaimanapun dodit juga seorang guru dan kuliah di perguruan, UNS SOLO jurusan pendidikan Geografi. Jadi candaan yang dibawa tentunya relevan dengan realita per-guru-an 🙂 .

skripsi dodit mulyanto

skripsi dodit mulyanto

Guru dan Perubahan


Tak dapat disangkal, guru merupakan sosok penting yang mengawal perubahan di awal abad XXI.

Guru berpikir jauh ke depan, bukan terbelenggu ilmu masa lalu, sebab tak banyak orang yang melihat anak-anak telah hidup di sebuah peradaban yang berbeda dengannya. Sementara kurikulum baru yang belum tentu sempurna sudah dihujat, kaum muda mengatakan kurikulum lama sudah tidak relevan mengisi masa depan mereka.

Untuk pertama kali dalam sejarah, dunia kerja dan sekolah di- isi empat generasi sekaligus, generasi kertas-pensil, generasi komputer, generasi internet, dan generasi telepon pintar. Terjadi celah antargenerasi, ”tulis dan temui saya” (generasi kertas), ”telepon saja” (generasi komputer), ”kirim via surel” (generasi internet), tetapi generasi terbaru mengatakan, ”Cukup SMS saja”. Yang tua rapat dengan perjalanan dinas, yang muda pakai skype. Baca lebih lanjut

Badut dalam Opera Perubahan


Di atas panggung di sebuah gedung opera cerita rakyat di Beijing, seorang pria tampak sibuk bersolek. Rekan saya dari Universitas Renmin berbisik, “Dia itu badutnya, bukan guru yang menjadi inti cerita”. Namanya Habei. Wajahnya murung. Tetapi begitu kamera mengarah kepadanya, ia terlihat riang dan mulai melucu.  Rekan saya yang lain, profesor dari Universitas Dublin yang keturunan Irlandia berujar serius: Impresif! Tetapianehnya ia sama sekali tidak tertawa.

Padahal batin Habei penuh luka, bisik rekan saya lagi. Menurut plot cerita, Habei datang ke kotadengan impian menjadi orang terpandang. Di sana, Ia diterima disebuah sekolah guru. Meski bukan angan-angannya, Habei tak pula membantingsetir. Tak  cukup nyalinya untuk bertarung mengejar ilmu yang lebih menantang. Karena terikat kontrak, begitu lulus,  Habei kena wajib mengajar. Namun ia tak senang dengan upah rendah sebagai abdi negara. Baca lebih lanjut